Selasa, 18 November 2008

OTORITAS KITAB-KITAB KANONIK ALKITAB

DAN EKSTRA KANONIK

Oleh : Pdt. Arnold Tindas, D.Min., D.Th.

1. Pendahuluan

Injil Barnabas, Injil Thomas, Injil Yudas sudah terbit dan beredar di Indonesia dan bakal muncul lagi Injil-injil lain, seperti Injil Maria, Injil Petrus dan kitab-kitab lain yang tidak termasuk di antara 66 kitab-kitab kanonik Alkitab, yang berkembang menjadi bahan diskusi teologi sistematik belakangan ini. Kehadiran Injil-Injil baru, yang disebut ekstra-kanonik atau apokripa itu, diterima secara kontroversial di kalangan para teolog. Sebagian menyebutnya Injil-injil palsu dan menyesatkan, sebagian lagi menyambutnya dengan tangan terbuka, karena menilainya sebagai pembukaan tabir kebenaran untuk melengkapi kekurangan dalam 66 kitab kanonik Alkitab yang kita pakai selama ini. Injil-injil ekstra-kanonik/apokripa masih puluhan yang bertahan hingga kini, di antaranya adalah: Injil Yudas (120 M); Injil Thomas (180 M); Injil Barnabas; Injil Petrus (170 M); Injil Filipus; Protoevangelion Yakobus (150 M); Injil Rahasia Markus (1960 M); Injil Maria (160 M); Injil Nikodemus; Injil orang Ibrani (140 M); Injil orang Nazaret (120M); Injil orang Mesir (120 M); Injil orang Ebionit (120M); Injil Kebenaran. Penerimaan yang kontroversial umumnya berkisar pada lingkup otoritas, perdebatan tentang apakah kitab-kitab ekstra-kanonik dapat disetarakan sama dalam otoritasnya dengan kitab-kitab kanonik Alkitab.

2. Kriteria Otoritas Kitab Suci

Otoritas Kitab Suci adalah tingkat prioritas penerimaan atau pengakuan seseorang atau sekelompok orang sebagai pedoman hidup beriman, mengatasi kitab-kitab lain mana pun atau nilai-nilai, kaidah, dan hukum apa pun yang dipandang dapat memberi petunjuk hidup yang benar. Kriteria utama otoritas Kitab Suci adalah berhubungan dengan sumber tulisan dan siapa penulisnya. Sebuah kitab akan diterima dan diakui sebagai Kitab Suci apabila sumbernya dari Allah dan penulisnya adalah Allah atau manusia yang dipilih Allah secara khusus untuk menuliskan firmanNya. Kriteria berikutnya adalah berhubungan dengan wahyu, ilham, dan kanon Kitab Suci. Kriteria wahyu, dipertimbangkan dari penggunaan Allah seluruh tulisan di dalamnya untuk menyatakan diriNya kepada manusia ciptaanNya sendiri. Kriteria ilham, dipertimbangkan dari keterlibatan Allah dalam kepenulisannya sehingga dapat terhindar dari kekeliruan (falibilitas) atau kesalahan (eransi). Kriteria kanon, dipertimbangkan dari penerimaan jemaat secara luas tentang sebuah kitab dalam ibadah sebagai sumber pengajaran hidup beriman. Jadi kriteria otoritas Kitab Suci adalah sumber, penulis, wahyu, ilham dan kanon dari seluruh tulisan di dalamnya.

3. Otoritas Kitab-kitab Kanonik Alkitab

Kitab-kitab Alkitab, yang terdiri dari 39 kitab Perjanjian Lama (PL) dan 27 kitab Perjanjian Baru (PB), diakui sebagai otoritas tertinggi oleh gereja mula-mula (abad 1-V), gereja abad pertengahan (abad VI-XV), dan gereja pada era reformasi (abad XVI-XVII). Penolakan terhadap otoritas tertinggi Alkitab muncul dan berkembang pada era modernisasi (abad XVIII-kini). Ke-39 kitab PL bahkan jauh lebih awal diterima otoritasnya, khususnya oleh umat Yahudi, oleh Yesus Kristus dan oleh rasul-rasul dan para penulis kitab-kitab PB. Sumber segala tulisan Alkitab diakui berasal dari Allah karena melaluinya Allah mau menyatakan diriNya kepada manusia ciptaanNya. Alkitab memiliki kepenulisan rangkap dua, yaitu penulis ilahi (divine author) dan penulis manusia (human author). Karena itu Alkitab disebut wahyu Allah dan diilhamkan Allah. Petrus berkata, “sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” (2 Ptr. 1:21). Paulus berkata, “Segala tulisan … diilhamkan Allah” (2 Tim. 3:16). Kosa kata dari human author tapi setiap kata dalam naskah asli (original manuscript) ditulis menurut kehendak dan kontrol Allah, sehingga tidak mungkin terdapat kesalahan (inerrancy), dan dengan demikian diakui bahwa setiap kata diilhamkan Allah (verbal and plenary inspiration). Ke-39 kitab PL diteguhkan oleh para rabi sebagai kanonik firman Allah pada konsili di Jamnia pada tahun 90 M. Ke-27 kitab PB diteguhkan oleh gereja sebagai kanonik firman Allah pada Konsili Karthage tahun 397.

Sekalipun Alkitab ditulis oleh lebih dari 40 orang, dengan latar belakang yang berbeda, tapi keselarasan dan kontinuitasnya terpelihara. Para penulis yang terpilih itu, terdiri dari raja-raja, petani, filsuf, nelayan, dokter, negarawan, sarjana, penyair, dan pembajak sawah. Mereka hidup di negeri yang berbeda dan dengan pengalaman yang berbeda pula. Mereka tidak dalam satu generasi sehingga tidak pernah mengadakan pertemuan, konsultasi, seminar, lokakarya, konferensi, atau yang semacamnya untuk suatu persetujuan atau kesepakatan mengenai pembagian tugas, materi, outline, tujuan dan alamat penulisan. Alkitab ditulis dalam satu periode sejarah yang cukup panjang, memakan waktu kurang lebih 1.600 tahun. Tak dapat disangkal bahwa kumpulan dari 66 kitab ini merupakan kitab yang paling banyak dibaca dan terus-menerus dibaca; paling banyak bahasa terjemahan, paling banyak jilid penerbitan, dan paling banyak mempengaruhi hidup manusia. Tak terhitung orang yang rela menjadi martir, yang rela dianiaya, dan yang rela mengorbankan apa saja karena keyakinannya berdasar Alkitab. Sementara yang lain meninggalkan kehidupan yang jahat, dan yang lain lagi dikuatkan dari keputusasaan karena keyakinan akan Alkitab sebagai firman Allah. Fenomena ini membuktikan otoritas kitab-kitab kanonik Alkitab.

4. Otoritas Kitab-kitab Ekstra-Kanonik

Kitab-kitab dan sumber-sumber ekstra-kanonik ditulis paling awal 50 tahun sesudah kitab-kitab kanonik PB. Semua tulisan dan pengajaran dalam kitab-kitab ekstra kanonik nampak sangat dipengaruhi oleh pengajaran gnostik Kristen. Para sarjana sejak dulu tidak tertarik meneliti pengajaran atau informasi tentang Yesus Kristus karena otoritasnya sulit diterima dan bahkan tidak diakui. Pada umumnya informasi tentang Yesus dalam tulisan-tulisan ekstra-kanonik berbeda atau bahkan bertentangan dengan informasi dalam kitab-kitab kanonik PB. Karena itu pertimbangan otoritas dari sisi wahyu Allah tidak bisa diterima, karena tidak mungkin Allah yang sama mewahyukan yang bertentangan. Pertimbangan otoritas dari sisi ilham Allah, penulisannya pada abad kedua ketika para rasul atau orang-orang yang dekat dengan Tuhan Yesus, yang dipakai sebagai nama penulis kitab itu sudah meninggal antara 50-100 tahun sebelumnya. Pertimbangan otoritas dari sisi kanonisasi, penggunaannya hanya pada kelompok tertentu, gnostikisme Kristen, bukan pada gereja secara universal, terlebih pula semua tulisan itu belum ada pada jaman gereja rasul-rasul.

Gnostikisme nampak dalam Injil Thomas, yang penulisannya ditujukan untuk kalangan tertentu (esoterik), orang-orang elite rohani, yang dianggap memenuhi syarat untuk mendengar ajaran rahasia Yesus. Kalimat pendahuluan Injil Thomas berbunyi, “Ini adalah kata-kata rahasia yang diucapkan Yesus yang hidup”. Maksudnya, kata-kata rahasia itu diucapkan Yesus kepada Thomas secara pribadi. Injil Thomas memberi tekanan pada pengetahuan dan hal mengetahui. Orang-orang yang yang memiliki pengetahuan rahasia ketika itu disebut pengikut gnostik.

Gnostikisme dalam Injil Yudas nampak dalam ajaran di dalamnya, yang memandang bahwa manusia memiliki zat ilahi karena emanasi dari Allah. Keselamatan adalah membebaskan zat ilahi itu dari penjara tubuh jasmani atau ragawi. Perlu pengetahuan khusus (gnosis) bagi manusia untuk mencapai keselamatan itu. Yudas dianggap menjadi penolong Tuhan Yesus Kristus dalam pembebasan zat ilahiNya melalui penyaliban. Jadi salib Yesus bukan penebusan dosa dan pembebasan manusia dari hukum dosa. Yudas dinyatakan sebagai murid yang dikasihi Tuhan Yesus dan yang terbaik dari ke-12 muridNya. Ia menerima pengetahuan khusus (gnosis) langsung dari Tuhan Yesus, pengetahuan rahasia yang tidak didapat oleh ke-11 murid lainnya. Gnosis itulah yang bisa membuat Yesus disalib dan zat ilahi terbebaskan.

Injil Maria mengisahkan Maria Magdalena sebagai wanita yang paling dikasihi oleh Tuhan Yesus di antara semua wanita yang pernah bertemu dengan Tuhan Yesus. Satu ayat Injil Maria berbunyi: “Saudari, kami tahu bahwa kamu sangat dikasihi oleh Juruselamat, lebih dari wanita lainnya.” Novel The Da Vinci Code (Dan Brown) berspekulasi bahwa Maria adalah kekasih Yesus, bahkan mungkin menikah denganNya. Beberapa teks menuliskan bahwa Yesus sering mencium Maria Magdalena dengan ciuman mulut.

Jadi otoritas kitab-kitab dan sumber-sumber ekstra-kanonik sejak awal sejarah gereja tidak diakui, karena itu tidak mungkin ditambahkan pada ke-27 kitab PB. Meskipun ada usaha-usaha untuk menerbitkan dan mengedarkannya secara luas untuk mendapat pengakuan gereja, tetapi karena pengajaran di dalamnya bertentangan dengan pengajaran dalam ke-27 kitab kanonik PB maka harus ditolak dan bahkan dianggap sebagai bagian dari usaha penyesatan di jaman akhir.

TIPS BELAJAR ALKITAB KREATIF


TIPS MEMPELAJARI ALKITAB SECARA KREATIF


Oleh: Dr. Arnold Tindas



1. Pegang kokoh kayakinan bahwa Alkitab adalah firman Allah dan wahyu (revelation) dan ilham (inspiration) Allah kepada para penulis ke-66 kitab PL dan PB, dalam pengertian bahwa kata demi kata, ungkapan, dan semua kalimat di dalamnya ditulis oleh manusia tetapi dalam kontrol Allah sendiri (2 Tim 3:16; 2 Ptr. 1:21).


2. Tujuan mempelajari Alkitab adalah mengetahui dan mengerti maksud dan kehendak Allah di dalamnya, karena itu “...Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri. sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” (2 Ptr. 1:20).


3. Berdoa memohon Roh Kudus untuk menuntun kepada bagian Alkitab yang akan dipelajari dan mohon penerangan (illumination) sehingga Roh Kudus mengungkapkan kehendak Allah bagi saudara dalam bagian Alkitab tersebut.


4. Pelajari konteks dari bagian Alkitab (teks atau nats), dengan prosedur berikut ini:


a. Pertama, baca secepat mungkin beberapa pasal sebelum dan sesudah nats dengan tidak terganggu atau terhenti oleh bagain-bagian tertentu yang menarik untuk diberi perhatian. Apabila bagian Alkitab itu berada di dalam sebuah kitab yang hanya terdiri dari beberapa pasal, maka bacalah seluruh pasal dalam kitab itu. Lakukan minimal dua kali. Tujuannya langkah pertama ini hanya untuk mengamati sepintas dan mengetahui alur pikir penulis dalam mengungkapkan pokok tulisannya.


b. Kedua, baca kembali pasal-pasal tersebut secara perlahan sambil memperhatikan dan mencatat kata-kata penting seperti nama pribadi atau tokoh-tokoh; nama tempat; kata-kata seruan, tantangan atau harapan; kata-kata peralihan dari bagian tertentu ke bagian lainnya, dengan disertai alamat ayatnya masing-masing. Tidak semua bacaan mengandung semua jenis kata-kata penting tersebut. Tujuan langkah kedua ini untuk melihat penekanan-penakanan penulis dalam berita yang hendak disampaikannya.


c. Ketiga, baca kembali pasal-pasal tersebut secara lebih teliti dan membaginya dalam bagian-bagian berupa paragraf, atau sekumpulan ayat berurutan yang mempunyai satu pokok berita dan menuliskan judul pada masing-masing paragraf tersebut. Cara yang paling mudah adalah menulis menurut judul paragraf sesuai yang sudah ada dalam Alkitab. Tetapi sering judul paragraf Alkitab tidak sesuai dengan pokok beritanya maka sebaiknya memberi judul sendiri dengan memperhatikan pokok berita apa yang hendak disampaikan penulis kitab melalui bagian itu. Tujuan langkah ketiga ini untuk mengetahui posisi nats dalam struktur kitab atau konteks, sehingga dapat diketahui dalam kerangka pembahasan apa nats yang anda pelajari ini dituliskan.


Pemahaman konteks seperti ini pada umumnya dapat berlaku untuk semua kitab Alkitab, kecuali kitab-kitab bentuk syair, seperti Mazmur, Amsal, Kidung Agung.


5. Pelajari teks atau nats Alkitab yang menjadi pilihan untuk dipelajari dengan prosedur berikut ini:


a. Pertama, baca teks atau nats itu minimal tiga kali sambil mencatat kata-kata benda, kata-kata kerja atau kata-kata imbauan, yang berulang kali disebut oleh penulis kitab pada setiap ayat atau setiap kalimat dan berikan catatan berapa kali kata itu disebut dan disebutkan pada alamat ayat yang mana. Tinjau kembali judul teks ini yang ditulis sebelumnya pada langkah ketiga ketika mempelajari konteks nats (poin 4c). Tujuan langkah pertama ini untuk mengetahui pokok berita apa yang sesungguhnya hendak disampaikan oleh penulis kitab.


b. Kedua, baca dan berusaha mengerti setiap kata, ungkapan, atau kalimat dalam kerangka pokok berita atau judul teks, karena semua itu dikemukakan oleh penulis untuk menjabarkan dan menguraikan secara jelas pokok yang hendak disampaikannya melalui teks atau nats ini. Lakukan dengan cara mencatat arti lain dari kata-kata atau ungkapan itu dan selanjutnya menulis kembali ayat-ayat tersebut tetapi dengan bahasa dan kalimat sendiri. Kamus Umum Bahasa Indonesia atau Kamus Alkitab dapat digunakan sebagai alat bantu. Tujuan langkah kedua ini untuk mengetahui pengajaran dan imbauan apa saja yang hendak disampaikan penulis.


c. Ketiga, baca dan perhatikan ayat-ayat atau kalimat-kalimat mana yang menurut urutan sistematis dapat dikelompokkan dalam satu sub bagian atau sub pokok berita. Tentukan sub pokok beritanya dan tuliskan sebagai sub-sub judul dari judul pokok nats yang dipelajari. Tujuan langkah ketiga ini untuk mengetahui ciri-ciri atau indikator dari pokok berita atau pokok pengajaran yang hendak disampaikan oleh penulis, sehingga dapat dengan mudah untuk menerapkan dalam kehidupan pribadi anda sendiri atau dalam kehidupan jemaat yang menerima pemberitaan firman ketika anda menyampaikannya dalam sharing atau khotbah.


d. Keempat, buatlah catatan-catatan penerapan untuk pribadi anda dan untuk orang lain atau jemaat, kemudian tandai dengan simbol khusus secara berbeda poin-poin yang sudah atau sedang diterapkan dan yang belum diterapkan.



Catatan:



  1. Tips ini dilakukan dengan asumsi bahwa yang digunakan untuk mempelajari Alkitab hanya menggunakan Alkitab tanpa alat bantu seperti konkordansi, versi-versi Alkitab lainnya, buku-buku tafsiran atau komentari, ensiklopedi Alkitab, dan lain-lain.

  2. Tips ini dilakukan untuk mempelajari Alkitab khusus teks, perikop, bagian, atau paragraf dalam kitab-kitab Alkitab, bukan untuk mempelajari sebuah kitab Alkitab.

  3. Tips ini dilakukan untuk mempelajari Alkitab baik untuk pendalaman bagi diri sendiri maupun bagi persiapan khotbah.

  4. Apabila mengikuti Tips ini maka anda sudah menghindari kemungkinan untuk penafsiran yang keliru dan dengan demikian menghindari pengajaran anda yang sesat.


Selamat mencoba...!

INERRANCY ALKITAB (BIBLIOLOGI)

PENDAHULUAN

Bagian pendahuluan ini memaparkan tentang analisa permasalahan. Hal ini dimaksudkan agar pembaca mengenal fenomena iman Kristiani dan pergeseran paradigma teologi, khususnya berkaitan dengan penerimaan dan sikap terhadap Kitab Suci, Alkitab. Selanjutnya akan dikemukakan tentang pemahaman tema, serta lingkup dan sistematika pembahasan.

Analisa Masalah

Alkitab memiliki keunikan tersendiri, yang tak tersaingi oleh kitab lain manapun yang pernah ada dan yang akan ada di dunia ini. Sekalipun Alkitab ditulis oleh lebih dari 40 orang, dengan latar belakang yang berbeda, tapi keselarasan dan kontinuitasnya terpelihara. Para penulis yang terpilih itu, terdiri dari raja-raja, petani, filsuf, nelayan, dokter, negarawan, sarjana, penyair, dan pembajak sawah.

Mereka hidup di negeri yang berbeda dan dengan pengalaman yang berbeda pula. Mereka tidak dalam satu generasi sehingga tidak pernah mengadakan pertemuan, konsultasi, seminar, lokakarya, konferensi, atau yang semacamnya untuk suatu persetujuan atau kesepakatan mengenai pembagian tugas, materi, outline, tujuan dan alamat penulisan. Alkitab ditulis dalam satu periode sejarah yang cukup panjang, memakan waktu kurang lebih 1.600 tahun. Tak dapat disangkal bahwa kumpulan dari 66 kitab ini merupakan kitab yang paling banyak dibaca dan terus-menerus dibaca; paling banyak bahasa terjemahan, paling banyak jilid penerbitan, dan paling banyak mempengaruhi hidup manusia. Tak terhitung orang yang rela menjadi martir, yang rela dianiaya, dan yang rela mengorbankan apa saja karena keyakinannya berdasar Alkitab. Sementara yang lain meninggalkan kehidupan yang jahat, dan yang lain lagi dikuatkan dari keputusasaan karena keyakinan akan Alkitab sebagai firman Allah.

Karena fenomena ini, Alkitab terus diselidiki dan dipermasalahkan apakah layak mendapat perhatian istimewa dibandingkan dengan kitab-kitab lain di dunia ini, dan bagaimana relevansinya dengan kehidupan manusia dan dunia yang terus berubah. Timbul pro-kontra di antara para sarjana Alkitab (baca: teolog), sehingga mereka mengorbankan banyak waktu untuk membela atau sebaliknya “menyerang” Alkitab. Dalam studi teologi sistematika masalah ini dibahas khusus dalam sektor bibliologi. Salah satu pokok yang dipermasalahkan adalah keyakinan tradisional bahwa Alkitab adalah firman Allah yang tanpa kesalahan (Inerrancy) dalam naskah aslinya, bukan hanya doktrin melainkan juga fakta sejarah dan kehidupan.

Masalah bibliologi mendapat perhatian secara istimewa dari para teolog akhir abad ke-19 hingga sekarang ini. Terutama sejak dilancarkannya Kritik Historis, yang jelas sangat merendahkan status Alkitab sebagai firman Allah. Pada akhir abad ke 19 Kritik Historis, yang dikenal juga dengan Kritik Tinggi Liberal, mencapai puncaknya. Misalnya dengan Kritik Sastra terhadap kelima kitab Musa (Pentateukh) yang dikumandangkan oleh Julius Welhausan dalam bukunya berjudul Die Composition des Hexateuchs (1876) dan Prolegomena zur Geschichte Israels (1878).[1] Secara khusus yang menjadi perdebatan hingga kini adalah, apakah Alkitab berstatus “mungkin salah” atau “tidak mungkin salah.”

Pandangan yang menganggap Alkitab bisa salah dan bahkan bukan Firman Allah, telah meluas di beberapa Sekolah Tinggi Teologi yang cukup terkenal di Indonesia. Sekalipun pandangan ini belum menjemaat (memasyarakat), tapi dapat dibayangkan masa depan Gereja di Indonesia, kalau sebagian besar dari pimpinan gereja-gereja besar dan yang cukup berpengaruh di Indonesia telah menganut dan mulai mengajarkannya kepada jemaat. Para pimpinan dan anggota-anggota jemaat yang kurang memahami perkembangan teologi dewasa ini, tanpa sadar telah terkelabui dengan pandangan ini. Mereka turut mengakui bahwa Alkitab berisi firman Allah, sebab sepintas lalu pernyataan ini nampaknya benar. Mereka tidak tahu bahwa pernyataan ini dikemukakan oleh mereka yang menyangkal bahwa Alkitab adalah firman Allah. Dengan perkataan berisi, mereka mengakui bahwa sebagian di antaranya bukanlah firman Allah. Menurut Lindsell, pandangan seperti itu berarti menyangkal doktrin-doktrin utama mengenai iman Kristen, misalnya kelahiran Kristus dari anak dara, keilahian Kristus, mujizat-mujizat, penebusan pengganti dan kebangkitan tubuh.[2]

Di Indonesia sudah beredar buku-buku, yang dalam pembahasannya sangat merendahkan nilai Alkitab sebagai firman Allah. Buku-buku tersebut di antaranya adalah Alkitab di Dunia Modern, terjemahan dari buku The Bible in the Modern World, karangan James Barr dan Di Sini Kutemukan, karangan Wismoadi Wahono. Barr, dalam tulisannya, menyangkal relevansi Alkitab dengan dunia modern, dan menganggap Alkitab sudah kedaluarsa. Buku ini mendapat kritikan keras ketika mula-mula dipakai dalam seminar teologi Perjanjian Lama di STT Duta Wacana Yogyakarta. Tapi akhirnya mendapat sambutan yang hangat dari para mahasiswa. Cairns menjelaskan bagaimana penerimaan para mahasiswa pada waktu itu, sebagai berikut:

Tanggapan mahasiswa terhadap buku ini adalah menarik: Waktu baru mulai berkenalan dengan isinya ada yang mencapnya ‘radikal,’ atau merupakan “serangan terhadap kekudusan Alkitab,” atau “kurang relevan dalam konteks situasi teologi di Indonesia.” Akan tetapi di dalam proses membahasnya, timbullah dua kesan: yang pertama ialah bahwa gereja-gereja kita justru terancam bahaya, kalau kita (terutama Pendeta dan teolog) tidak ikut menggumuli masalah-masalah yang memikat perhatian James Barr dalam buku ini, dan kesan kedua ialah bahwa cara pemecahan masalah status Alkitab yang digariskan James Barr, justru dapat membuka kemungkinan bagi kita mencapai keyakinan dan keberanian yang lebih kokoh, dalam menggunakan Alkitab sebagai landasan kebaktian, pemberitaan, dan pelayanan Kristen.[3]

Buku ini sudah mengalami cetakan ulang oleh BPK Gunung Mulia. Cetakan pertama pada tahun 1979 dan kedua tahun 1983 dan terus dicetak ulang. Ini menunjukkan adanya sambutan baik dari umat Kristen di Indonesia, khususnya para mahasiswa Perguruan Tinggi Teologi dan para teolog yang mengutamakan rasio dan menganggap sepi campur tangan Roh Kudus secara istimewa kepada penulis-penulis kitab dalam Alkitab.

Kaum Injili menganggap pokok ini penting untuk diperhatikan secara khusus, karena itu pada bulan Oktober 1979 di Chicago berkumpullah kira-kira 300 sarjana Injili untuk membicarakannya bersama-sama. Konferensi ini disebut “The International Conference on Biblical Inerrancy” (ICBI), yang berhasil merumuskan 19 pasal Chicago Statement.” Makalah-makalah dibahas, dikumpulkan dan diterbitkan pada tahun 1980, dengan judul Inerrancy. Pada tanggal 23-31 Agustus 1982, kurang lebih 85 teolog Injili dari 17 negara di Asia, mengadakan pertemuan di Seoul, Korea, untuk mendiskusikan bagaimana menerapkan Alkitab dalam konteks yang berbeda di Asia. Pada pertemuan ini, pandangan “kemungkinan salah” dan “ketaksalahan” Alkitab turut dibahas.

Sekalipun kaum Fundamentalis dan kaum Injili begitu kokoh mempertahankan pandangan tradisionalnya mengenai Alkitab, yang tak dapat salah dan tak mungkin keliru, terdapat juga di antaranya yang sudah meninggalkan pandangan ini. Sedikit demi sedikit baik organisasi maupun secara individu, yang mulanya mengakui ketaksalahan Alkitab, beralih kepada pandangan yang menganggap bahwa Alkitab memiliki kesalahan-kesalahan dan bahkan mereka turut mempropagandakannya.[4] Misalnya G.G. Berkouwer dan para pengikutnya telah mengubah posisi Princeton dari pengakuan yang kokoh mengenai ketaksalahan Alkitab, sebagaimana yang dipertahankan B.B. Warfield sebelumnya, kepada penyangkalan terhadapnya.

Nampaknya yang menjadi harapan dewasa ini adalah kesediaan dari teolog-teolog rasionalis, naturalis, modernis, liberalis atau ekumenis untuk memberi tempat pada aspek adikodrati ketika memahami Alkitab dengan suatu metode pendekatan tertentu. Di pihak lain, teolog-teolog konservatif, tradisional, fundamentalis atau evangelikalis perlu secara bertanggungjawab dalam pengungkapan kebenaran Alkitab tanpa mengabaikan pertimbangan rasio, sebab Alkitab meliputi kodrati dan adikodrati. Pembahasan dalam buku ini, sesuai topik konsentrasi, telah dipertimbangkan dari kedua aspek tersebut, sehingga diharapkan dapat memberi kontribusi yang cukup berarti bagi studi bibliologi dan keteguhan iman bagi umat Tuhan.

Pemahaman Tema

Judul dari buku ini adalah “Inerrancy: Ketaksalahan Alkitab”. Istilah “Inerrancy” (ketaksalahan) diterjemahkan oleh Boeker dengan tiga kata dalam bahasa Indonesia, yaitu “tak dapat salah.”[5] Penulis memilih istilah “ketaksalahan” supaya tetap satu kata saja dan dengan demikian akan lebih mudah untuk menggunakan istilah itu secara berulang-ulang.

Menurut Feinberg istilah “inerrancy” adalah kata yang relatif baru dalam bahasa Inggris. Ia mengatakan bahwa istilah ini seolah-olah merupakan transliterasi dari kata Latin “inerratia,” bentuk partisip dari kata kerja “inerro,” tapi sebenarnya bukan.[6] Feinberg menyelidiki istilah ini dari kamus yang baginya cukup memadai, Oxford English-Dictionary. Di dalamnya disebutkan bahwa Boethius, yang hidup pada akhir abad keenam dan permulaan abad ketujuh, telah menggunakan istilah latin ‘inerratum’ dalam pengertian “ketidak-adaan salah.” Disebutkan juga Thomas Hardwell Horne telah menggunakan kata benda ‘inerrancy’ pada bukunya yang berjudul Introduction to the Critical Study and Knowledge of the Holy Scriptures. Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1818.[7]

Dalam kamus Oxford, istilah ‘inerrancy’ diberi definisi sebagai berikut: “kualitas atau kondisi dari keberadaan yang tanpa salah atau tidak salah; bebas dari kesalahan.” Sedangkan ‘inerrant’ berarti “tidak berbuat kesalahan.” Sebaliknya istilah ‘errant’ didefinisikan sebagai berikut: “tindakan atau keadaan yang salah”; “keadaan salah dalam pandangan”; “suatu yang dilakukan secara tidak tepat karena ketidaktahuan atau karena tidak hati-hati; suatu kesalahan.”[8]

Beberapa teolog Injili, tidak setuju dengan penggunaan istilah ‘inerrancy.’ Misalnya Lasor tidak setuju karena istilah ini meniadakan konsep negatif. Ridderbos dan Piepkorn mengatakan bahwa istilah ini tidak Alkitabiah. Pinnock mengatakan bahwa istilah ini hanya dihubungkan dengan naskah asli dan tidak menegaskan kewibawaan teks Alkitab yang kita gunakan.[9] Istilah-istilah yang mereka usulkan mengenai diskusi ini ialah ‘inspirasi’, ‘ketiadaan cacat’, ‘tak dapat keliru’, dan ‘tak terdapat penipuan’. Tapi Feinberg menganggap bahwa istilah ‘inerrancy’ yang lebih tepat, sesuai dengan gambaran data Alkitab. Sebab sisi positif dari istilah ini mengatakan bahwa Alkitab benar seluruhnya. Data Alkitab dapat dilihat dalam Mazmur 119, “Tauratmu benar” (ay. 142): “Segala perintah-Mu adalah benar” (ay. 151); “FirmanMu adalah kebenaran” (ay. 160). Juga dalam Amsal 30:5, “Firman Allah adalah kebenaran.” Dengan dasar ini pula Feinberg memberi definisi sebagai berikut:

Ketaksalahan berarti bahwa bila semua fakta Alkitab dalam tulisan aslinya diketahui dan ditafsirkan dengan semestinya, segala sesuatu akan terbukti benar seluruhnya dan dikokohkan, apakah menyangkut doktrin atau moralitas atau sosial, fisik atau ilmu pengetahun.[10]

Bagi Lindsell, istilah ‘infallible’ (tak dapat keliru) dan ‘inerrant’ (tak dapat salah) adalah dua kata bersinonim, yang dapat dipertukarkan. Ia menggunakan kedua kata itu secara bergantian untuk membicarakan pokok mengenai Alkitab, dalam hal dapat dipercaya, berwibawa, dan sebagainya.[11] Dalam diskusi mengenai ketaksalahan Alkitab, kata-kata kunci dan penting yang berhubungan erat dengannya adalah meliputi istilah ‘penyataan’, ‘pengilhaman’, ‘penerangan’, ‘kewibawaan’, dan ‘penafsiran’.[12] Menurut Geisler, pengajaran mengenai ketaksalahan Alkitab merupakan unsur dasar dari kewibawaan Alkitab dan sesuatu yang diperlukan demi gereja Kristus yang sehat, dalam suatu usaha memenangkan gereja kembali kepada posisi sejarah.[13]

Ketaksalahan Alkitab yang dibicarakan dalam tulisan ini adalah ketaksalahan naskah-naskah asli (original authographs), bukan pada naskah salinan atau versi-versi terjemahan Alkitab.

Lingkup dan Sistematika Pembahasan

Ruang lingkup pembahasan berkonsentrasi pada masalah ketaksalahan Alkitab, meskipun tema-tema tertentu dikemukakan juga tapi hanya sebatas atau sejauh memperjelas tema utama. Lingkup penyelidikan adalah pandangan-pandangan para tokoh sejarah gereja, filsuf, kaum liberal, neoortodoks, kaum Injili, dan klimaksnya adalah pengajaran dari Alkitab itu sendiri.

Pembahasan secara sistematis didahului dengan pengungkapan beberapa pandangan mengenai Alkitab bisa salah (errancy), sehingga dapat mengetahui letak permasalahan sebelum membahas masalah ketaksalahan Alkitab. Selanjutnya tentang pandangan Kaum Islam terhadap inerrancy dan errancy Alkitab. Lingkup sebagian besar pembaca berada dan hidup di sebuah negeri, Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, karena itu pandangan kaum Islam tentang Alkitab disertakan pada pembahasan ini. Terdapat nuansa tersendiri dalam pandangan Islam, karena pengakuan akan adanya dua macam Alkitab, yaitu Alkitab yang tanpa salah (inerrancy) dan yang dapat salah (errancy).

Pembahasan berikutnya khusus tentang contoh bagaimana mencari solusi berhubungan dengan perkara-perkara yang tidak bersesuaian dalam Alkitab, yang sering digolongkan sebagai kesalahan-kesalahan oleh penganut errancy Alkitab. Dengan demikian dapat diketahui bahwa bagian-bagian tertentu dalam Alkitab yang masih dipersoalkan, karena dianggap kesalahan, sebenarnya hanyalah merupakan kesulitan-kesulitan yang belum terjangkau oleh akal manusia, yang memang terbatas itu. Selanjutnya dikemukakan bagaimana pandangan-pandangan dari tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga Injili, yang memegang teguh pengakuan akan inerrancy Alkitab, untuk mendapat gambaran dari perkembangan historis, seberapa banyak dan luasnya jangkauan, serta berapa lama pengakuan tersebut diterima. Hal ini dapat memberikan bukti bahwa orang-orang beriman dari kalangan cerdik cendekia sekalipun, yang juga memberi tempat terhormat bagi rasio, dari generasi ke generasi, memegang teguh pangakuan akan ketaksalahan Alkitab. Jadi pengakuan ketaksalahan Alkitab bukan dari pertimbangan iman semata-mata, melainkan juga rasio. Pembahasan yang merupakan klimaks adalah pengajaran dari Alkitab sendiri, dengan mengambil sample pengajaran Tuhan Yesus, rasul Paulus, dan rasul Petrus. Pengajaran dari ketiga tokoh penting ini dianggap paling representatif untuk penyelidikan tentang pengajaran Alkitab sendiri tentang ketaksalahan Alkitab. Meskipun ada hukum yang menolak kesaksian atau pembenaran dari diri sendiri tentang status kebenaran dirinya, tapi Alkitab bukan “diri sendiri”, melainkan kumpulan 66 kitab yang ditulis oleh puluhan orang dalam jangka waktu ribuan tahun. Alkitab bukan suatu tulisan hasil rekayasa orang tertentu, tapi ada tuntunan super-natural dalam jangka waktu yang panjang bagi para penulis, karena itu pengajaran dari Alkitab sendiri merupakan argumentasi terkuat dan otoritas tertinggi. Pada bagian penutup buku ini diberikan kesimpulan sebagai gambaran ringkas tentang inti pembahasan. Bersamaan dengan itu juga diberikan aplikasi praktis untuk menemukan manfaat dari penulisan buku ini.



[1]Ronald Youngblood, “Introduction,” The Higher Criticism of the Pentateuch, By William Henry Green (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1978), h. v.

[2]Harold Lindsell, A Handbook of Christian Truth (Westwood, N.J.: Fleming H. Revell Company, n.d.), h. 22-23.

[3]I.J. Cairns, “Kata Pengantar.” Alkitab di Dunia Modern, oleh James Barr (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), h. 5.

[4]Harold Lindsell, The Battle for the Bible (Grand Rapids: Zondervan, 1976.), h. 19.

[5]T.G.R. Boeker, “Alkitab Tak Dapat Salah (Innerancy)”, Buletin Soteria (November-Desember 1985), h. 24.

[6]Paul D. Feinberg, “The Meaning of Innerancy” Innerancy, ed. Norman L. Geisler (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1980), h. 291.

[7]Ibid., h. 291-292.

[8]Ibid.

[9]Ridderbos dan Piepkorn, sebagaimana yang dikutip oleh Feinberg dalam “The Meaning of Innerancy” Innerancy, h. 292-293.

[10]Ibid., h. 294.

[11]Lindsell, The Battle, h. 27.

[12]Ibid., h. 28.

[13]Norman L. Geisler, ed. Inerrancy (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1980), h. ix.